Peringati Hari Pahlawan 2025, Civitas Akademik PMM Kobarkan Semangat Juang mengikuti Upacara di Kampus I UINSU Medan

Bismillahirrahmanirrahi,

Assalamualaikum Wr. Wb

Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional, Civitas Akademik Prodi PMM menggelar upacara yang digelar UINSU Medan yang bertema “Pahlawanku telandanku, Terus Bergerak melanjutkan Perjuangan” pada Senin (10/11). Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali semangat nasionalisme, cinta tanah air, dan pengabdian terhadap bangsa sebagaimana telah diwariskan oleh para pahlawan.

Upacara peringatan dimulai pukul 08.00 WIB di halaman Kampus I UINSU Medan, dipimpin oleh Prof. Dr. H. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. selaku pembina upacara. Dalam amanatnya, beliau menyampaikan bahwa nilai-nilai perjuangan para pahlawan harus terus dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menghadapi tantangan zaman modern.

“Menjadi pahlawan masa kini tidak selalu dengan mengangkat senjata. Kita bisa menjadi pahlawan dengan bekerja keras, berinovasi, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa,” ujarnya.

Keterangan pahlawan yang ada d cover berita

Rahmah El Yunusiyah

Syekhah[b] Hajjah Rangkayo[c] Rahmah El Yunusiyah (26 Oktober 1900 – 26 Februari 1969) adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sewaktu Revolusi Nasional Indonesia, ia memelopori pembentukan unit perbekalan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang serta menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka.

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri dalam satu kelas, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Selain itu, ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam khusus perempuan pertama di Indonesia.

Sewaktu pendudukan Jepang di Sumatera Barat, Rahmah memimpin Haha No Kai di Padang Panjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padang Panjang dan mengerahkan muridnya melawan penjajah sesuai kesanggupan mereka walaupun hanya menyediakan makanan dan obat-obatan. Pada 7 Januari 1949, ia ditangkap oleh Belanda dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka Kulliyatul Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Pada 1955, Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj mengunjungi Diniyah Putri. Pada 1957, saat melakukan kunjungan balasan ke universitas tersebut, ia dianugerahi gelar kehormatan “Syekhah”—yang belum pernah diberikan sebelumnya. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.

Melalui peringatan ini, pembina upacara berharap seluruh warga Indonesia, khususnya generasi muda, dapat meneladani semangat juang para pahlawan dalam menjaga persatuan dan mewujudkan Indonesia yang lebih maju..

 Agus Salim 

(8 Oktober 1884 – 4 November 1954), lahir dengan nama Masjhoedoelhaq Salim (berarti “pembela kebenaran”),[1] adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga sebagai bapak pandu Indonesia. Ia ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.[2] Pekerjaan yang ditekuninya adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa (bahasa Belandabahasa Inggrisbahasa Jerman dan bahasa Prancis), 2 bahasa asing di Timur Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki), serta bahasa Jepang.[3]

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.[4]

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III (Kawedrie) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Pada tahun 1912-1915, Salim membuka sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau disebut Sekolah Dasar Bumi Putera dengan statusnya sebagai sekolah swasta.[5] Kemudian pada tahun 1915 ia terjun ke dunia jurnalistik di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar Almatsier dan dikaruniai 10 orang anak.[6] Kesepuluh anaknya ini dua diantaranya meninggal sewaktu kecil, sehingga kedelapan anak beliau terdiri dari empat orang anak laki-laki dan empat orang perempuan.[7] Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya pada tahun 1925 beliau menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Pada tahun 1927 Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia bersama HOS Tjokroaminoto. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Karangan beliau banyak di muat di beberapa surat kabar seperti Neraca, Mustika, Fajar Asia Hindia Baru, Keng Po Dunia Islam, Het Licht, Pujangga Baru Hikmah, Mimbar Agama, Moslemse Reveil, Indonesia Revue. [8] Bersamaan dengan itu ia juga terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Mahmud Yunus

Mahmud Yunus (ejaan lamaMahmoed Joenoes, 10 Februari 1899 – 16 Januari 1982) adalah seorang ulama dan ahli tafsir Al-Qur’an yang berjasa dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Melalui jabatannya di Departemen Agama, ia menginisiasi dan memperjuangkan masuknya mata pelajaran pendidikan agama dalam kurikulum nasional. Ia menghasilkan setidaknya 75 judul buku, termasuk menyusun Tafsir Qur’an Karim dan Kamus Arab–Indonesia. Buku-bukunya masih dipergunakan untuk keperluan pengajaran madrasah dan pesantren Indonesia. Yunus menerima gelar doktor kehormatan di bidang tarbiyah dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Namanya diabadikan pada UIN Mahmud Yunus, Batusangkar dan jalan menuju kampus UIN Imam Bonjol, Padang.

Yunus memperoleh pengalaman mengajar sejak remaja di surau dan Madras School Sungayang pimpinan Muhammad Thaib Umar, tempat dulunya ia mengikuti pendidikan. Pada 1919, ia bergabung dengan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) yang kelak membidani beberapa sekolah Islam dan perguruan tinggi Islam terawal di Indonesia. Sejak 1924 sampai 1930, ia kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas KairoMesir. Ia kembali mengajar di Madras School, sembari memperkenalkan perjenjangan madrasah yang dipakai Indonesia saat ini. Pada 1932, ia pindah mengajar di Padang, membuka Normal Islam School, dan memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) Padang.

Sejak pendudukan Jepang, Yunus bekerja dalam pemerintahan membidangi masalah pendidikan Islam. Ia mendorong masuknya mata pelajaran pendidikan agama di sekolah negeri di Minangkabau. Setelah kemerdekaan, ia meneruskan upaya yang sama untuk diberlakukan di Sumatra dan disetujui pada 1947. Mata pelajaran agama diadopsi dalam kurikulum nasional sejak 20 Juanuari 1951 lewat usulannya sebagai pegawai Departemen Agama. Dari tahun 1957 hingga 1960, Yunus menjabat sebagai rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), cikal bakal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikutnya, ia menjadi rektor pertama IAIN Imam Bonjol Padang sejak 1967 sampai 1971 ketika ia pensiun sebagai pegawai Departemen Agama. Ia meninggal dalam usia 82 tahun pada 16 Januari 1982.

Cut Nyak Meutia

Tjoet Nyak Meutia (15 Februari 1870 – 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.

Tjoet Nyak Meutia atau Cut Meutia merupakan , anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikaruniai 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali Orang tua Tjoet Nyak Meutia merupakan keturunan asli Aceh seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe. Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.

Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.

Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000.[1]